Cendekiawan dan Kebebasan Intelektual

1.Mengenal Cendekiawan

Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya.

Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah cendekiawan, yaitu:

a.Mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku;

b.Mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan  mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai “intelektual budaya”.

c.Dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:

“Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat.”

Dalam perbincangan akademis telah dibedakan antara lapisan inteligensia dengan kelompok intelektual. Istilah pertama berasal dari Rusia (istilah itu mula-mula diperkenalkan oleh penulis P.D.Boborykin pada tahun 1860-an) kaum inteligensia adalah “suatu strata sosial yang terdiri dari orang-orang yang secara profesional terlibat dalam permasalahan mental, terutama dalam bentuknya yang kompleks dan kreatif, dan dalam perkembangan serta penyabaran budaya”. Definisi ini mencakup juga ulama, seperti dalam masyarakat Islam, kedalam kelompok inteligensia.

Bertolak dari definisi Rusia, Edward Shill mengembangkan pengertian baru inteligensia sebagai strata yang bercirikan kualitas keterpelajarannya.Tapi intelektual atau cendekiawan adalah makhluk yang berbeda, mereka adalah orang-orang yang bukan hanya terpelajar tetapi juga terlibat dan melibatkan diri kedalam pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan. Alvin Gouldner membedakan intelektual dari inteligensia pada dasarnya bersifat teknis, sedangkan kepentingan intelektual berkategori “kritis, emansipatoris, dan juga politis”.

Keterangan diatas agaknya belum mampu juga membatasi pengertian cendekiawan. Karl Mannheim umpamanya menganggap intelektual sebagai ”inteligensia yang relatif bebas mengambang”. Bebas di sini serupa dengan pengertian Kant tentang deontologi dan otonomi, yaitu rasa kewajiban yang didasarkan pada kehendak merdeka, tanpa tekanan dari luar. Karena itu, maka kebebasan yang memberikan ciri pada keintelektualan itu cenderung bersifat kondisional, dan mensyaratkan kemandirian, juga tak bisa berkelompok. Pengertian tentang cendekiawan Dunia Ketiga sebenarnya diproyeksikan dari model cendekiawan bebas ini.

2. Kebebasan Intelektual

a. Problema Intelektual

Ketika berbicara tentang apa problema intelektual yang dihadapi kaum cendekiawan saat ini, maka setidaknya dapat ditemukan dua masalah mendasar, baik disadari atau tidak. Pertama, adalah problema keterasingan (kegelisahan) intelektual yang bersumber dari problema epistemologi, dari setiap kerangka pemikiran yang dipakai sebagai pendekatan untuk memahami berbagai fenomena eksistensial, baik manusia (jati diri), dan masyarakatnya (kultur), maupun alam semesta (natur). Kedua, problema moral-sosial, masalah yang menyangkut dimensi moralitas, dan etik cendekiawan itu sendiri, bagaimana mengaktualisasi tanggung jawab, komitmen dan pemahaman moralitas-etik dirinya dalam konteks kehidupan riil masyarakatnya, baik dalam konteks politik, ekonomi maupun kebudayaan.

b. Relevansi Kebebasan

Menghadapi kedua problema intelektual cendekiawan yang diuraikan di atas, diperlukan jawaban yang satu sama lain konteksnya berbeda. Jawaban atas problema epistemologi adalah bagaimana cendekiawan mampu menciptakan kebebasan dalam dirinya, melalui kreativitas berpikir dan pemikiran-pemikiran produktif sehingga ia dapat terbebaskan dari belenggu sejarah pemikiran. Kegenitan dan kegelisahan intelektual lebih baik disalurkan pada pemikiran alternatif, betapapun tidak ada gunanya secara politis.

Sedangkan jawaban atas problema moral-sosial cendekiawan adalah bagaimana mereka mampu membebaskan diri dari pengaruh tangan-tangan kekuasaan-birokratik-teknokratik. Jawaban ini berarti dengan tetap memelihara komitmen untuk tetap berada diluar struktur lembaga kekuasaan. Problema moral-sosial menuntut adanya cendekiawan bebas sebagai kelompok sosial independen yang memiliki kritisme sosial. Eksistensi kelompok cendekiawan yang bebas lepas dari praktik politik-birokratik-teknokratik ini sangat penting sebagai perimbang kekuatan cendekiawan milik negara. Tetapi pembebasan diri secara intelektual dan politis terhadap institusi kekuasaan saja, tidaklah cukup. Pembebasan secara institusional-politis perlu dibarengi dengan pembebasan sikap kultural tertentu, dalam konteks ini Anharudin (seorang cendekiawan muda Indonesia) menawarkan konsep hipotetik bagaimana problema epistemologi itu dapat dipecahkan, yaitu konsep pembebaskan cendekiawan dari belenggu sejarah pemikiran, baik berupa ilmu-ilmu pengetahuan empiris maupun ideologi yang akan menjadi salah satu alternatif bagaimana proses pembebasan itu dilakukan dan berarti peluang bagi setiap cendekiawan untuk menciptakan ilmu sendiri, yang paling cocok bagi dirinya maupun masyarakatnya.

Kebebasan dimaksudkan disini adalah suatu konsep yang mengacu pada kondisi subjektif, yaitu kebebasan berpikir pada tingkat subjektif-individual, sebagai pembiasan dari penguasaan keilmuan, kearifan, kesadaran eksistensial dan pemahaman filosofis tentang jati dirinya, dan tentang berbagai persoalan kehidupan. Dengan kata lain, kebebasan cendekiawan adalah “suatu ruang kosmik dalam dirinya dimana ia dapat bebas untuk berpikir dan berpikir bebas”. Itu berarti bahwa dalam dunia ini cendekiawan dapat, boleh, dan bisa untuk tidak lagi terjerat oleh perangkap-perangkap kelembagaan dan normatif masyarakat. Ia boleh dan bebas dari norma-norma, baik norma sosial, agama,maupun budaya. Dalam dunia ini cendekiawan dapat berenang bebas, mengembangkan pemikiran baru, menciptakan kebenaran dan nilai-nilai baru, mempertanyakan kembali makna kebenaran yang telah mapan dan dianut oleh orang-orang kebanyakan.

Jadi, pada  tingkat awal misi cendekiawan adalah membebaskan dirinya dari fragmentasi dunia dan ketidakmasuk akalan eksistensi dirinya. Kemudian setelah itu, misi cendekiawan adalah membebaskan orang lain secara berlahan dari kemelut dan belenggu dunia keterbatasan, menuju dunia kebebasan yang sama.

3.Tanggung Jawab Cendekiawan

Menurut Mohammad Hatta, seorang cendekiawan dengan sendirinya memikul tanggung jawab yang besar, lebih besar dari golongan masyarakat lainnya, karena kualitasnya sebagai yang terpelajar. Cendekiawan memiliki kemampuan untuk menguji yang benar dan yang salah dengan pendapat yang beralasan berdasarkan ilmunya. Disini kaum intelegensia unggul, pertama-tama karena keterpelajarannya, tapi ilmu itu sendiri yang memberi kualitas kepada keterpelajarannya, tidak hanya terdiri dari keterampilan dan kecanggihan berolah pikir. Ilmu, secara instrinsik mengandung nilai-nilai moral. Karena itu, maka kaum intelegensia juga memiliki tanggung jawab moral, selain intelektual. Moralitas itu berkaitan dengan keselamatan masyarakat, tidak saja sekarang tetapi juga kemudian.

Menurut Hatta dengan mengutip Julien Benda, contoh perwujudan tanggung jawab yang dimaksud yaitu, ”Memberi petunjuk dan memberi pimpinan kepada perkembangan hidup kemasyarakatan dan bukannya malahan menyerah diri kepada golongan yang berkuasa yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing”.Dan merupakan salah satu ciri pokok kecendikiawanan adalah keterlibatannya. Cendekiawan adalah golongan yang berpikir, karena rasa keterlibatannya, sebaliknya keterlibatannya tak terpisahkan dari keberpikirannya.[1]

a. Ideologi dan Tradisi

Intelektual yang berpendapat bahwa dunia dapat diterangkan secara rasional, dapat pula diubah selama ia masih rasional. Hal ini menjadi penting bila dibandingkan dengan semangat konservatif, yaitu semangat melindungi suatu tatanan atau nilai-nilai dengan alasan bahwa itulah yang terbaik hingga saat ini, atau bahkan selamanya. Tatanan atau nilai-nilai yang dijadikan idola tersebut dikemas dalam suatu sistem pemikiran yang disebut ideologi.

Sikap ideologis bukan berarti tanpa pemikiran rasional, ideologi-ideologi besar yang dikenal dalam sejarah peradapan manusia, semua memiliki rationale yang mendalam dan filosofis. Masalah yang dihadapi ideologi ini, dalam kaitannya dengan intelektualisme adalah keengganannya untuk berubah. Dan agama bukanlah satu-satunya sumber ideologis, karena masih ada tradisi serta ideologi kenegaraan. Tradisi tidak harus mengacu kepada sistem nilai atau pemikiran tertentu yang komprehensif, tetapi dapat berupa adat istiadat yang mengatur tingkah laku orang dalam peristiwa-peristwa tertentu secara sporadis. Misalnya, ketentuan dengan siapa orang tidak boleh kawin atau basarnya mas kawin. Sementara yang dimaksud dengan ideologi kenegaraan adalah hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut Undang-Undang Dasar dan doktrin resmi pemerintah.

Sikap ideologis kebanyakan masyarakat, pada gilirannya juga bukan tanpa pembenaran rasional, seperti yang dikandung agama-agama dan ideologi negara. Namun, yang ingin ditekankan adalah kecenderungan untuk berhenti berpikir rasional atas dasar doktrin ideologis, yang pada akhirnya tidak boleh atau tidak berani berpikir lebih lanjut karena akan membahayakan ideologi tersebut.

Apabila konflik antara intelektulisme dan ideologi memang menyangkut yang sedemikian mendasar, seperti cara berpikir ilmiah dan ideologis, maka ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, perkembangan kebudayaan belum mencapai tingkat dimana masyarakat mampu dan memilih untuk berpikir ilmiah. Kedua, masyarakat memang memilih berpikir ideologis untuk membela agamanya, karena takut membuat kesalahan dan akibatnya dihukum Tuhan.

b. Perubahan Masyarakat

Dengan asumsi bahwa intelektual bekerja secara jujur, dan untuk kepentingan masyarakat banyak, maka kehadiran mereka sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena perubahan masyarakat yang terus-menerus terjadi, dan tidak pernah dicegah oleh ideologi negara maupun agama, memerlukan bimbingan intelektual agar tidak menimbulkan kekacauan. Akan menjadi sangat ironis apabila negara dan agama membiarkan perubahan tata kehidupan terus berlangsung, tetapi tidak menyodorkan jalan keluar bagi masalah-masalah yang ditimbulkannya.

Dalam konteks pemikiran keagamaan, peranan intelektual diperlukan karena Tuhan tidak lagi menurunkan petunjuk-petunjuk baru. Karena itu, apabila agama menolak peranan intelektual, berarti ia tidak bertanggaung jawab terhadap perubahan masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, agama akan justru menjadi bagian dari masalah sosial.

Pada kenyataaannya, agama Islam cukup tanggap terhadap masalah sosial yang timbul terhadap masalah sosialyang timbul dalam kehidupan modern sekarang, dengan mengembangkan ilmu pengetahuan atau ekonomi Islam. Kemudian, yang menjadu pertanyaan adalah apakah ada perbedaan subtansial dan berimplikasi praktis, bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan ekonomi bukan-Islam. Bila perbedaan itu tidak ada, maka upaya itu hanya menjadi simbol sikap apologetis dan eksklusivisme orang Islam.[2]

4. Konteks Cendekiawan

Cendekiawan sendiri bukan hanya terfragmentasi dalam hal yang berkaitan dengan fungsi dan peranannya ditengah kepentingan umum dan kebaikan masyarakat, namun demikian halnya saat membicarakan cendekiawan dalam konteks posisi dan keberadaannya ditengah masyarakat.

a. Cendekiawan Terpisah

cendekiawan yang memisahkan diri adalah mereka yang muncul melampaui kepentingan diri sendiri dan berbicara bagi kepentingan umum, membuat pertimbangan politis dan kultural atas dasar prinsip-prinsip universal bukan atas dasar prinsip-prinsip yang telah dikaburkan oleh kelas, status, dan kekuasaan. Dalam arti ini, “pendidikan” yang diberikan oleh cendekiawan itu mengangkat publik keluar dari suatu anonimitas dan partikularitas, untuk masuk ke dalam diskursus universal.

Adalah para profesional dalam peran mereka sebagai cendekiawan yang memisahkan diri untuk memberikan kriteria penilaian mengenai apa yang merupakan masalah-masalah sosial, dan dari masalah itu, kemudian menjadi tugas cendekiawan yang berperan sebagai pakar, memberikan perbaikan terhadap masalah-masalah itu, supaya masyarakat dapat memecahkannya sendiri dengan bantuan para profesional.

Sebagai suatu pembentuk opini publik yang bertanggung jawab secara moral, cendekiawan yang memisahkan diri lalu terkait pada publik yang melalui itu perannya dibentuk, keduanya baik cendekiawan maupun publik, saling bergantung satu sama lain akan tetapi relasi ini tidaklah simetris. Oleh karena ada kecenderungan selain idealisme dan pertanggungjawaban moral yang mendasari cendekiawan yang memisahkan diri itu; “kepentingan diri sendiri”- sebagai suatu kelompok profesional kelas menengah.

b. Cendekiawan Pergerakan

Cendekiawan pergerakan dibentuk dalam relasi yang langsung dengan publik, suatu interaksi yang sedikit banyak langsung berhadapan dengan publik yang telah dikenal. Relasi itu akrab dan langsung, yang dalam istilah Gramsci disebut sebagai relasi organis. Baik cendekiawan maupun publik eksis tidak dalam perbedaan mencolok satu dengan yang lainnya, yang satu akan segera menarik perhatian yang lain. Jadi, cendekiawan pergerakan berbicara dalam mode kolektif, untuk dan bagi kolektif; cendekiawan publik dilain pihak berbicara secara individu, meskipun pada saat menjelaskan apa yang dalam editorial dan forum akademik digunakan kata “kita”.

c. Cendekiawan Aristokratik

Mereka adalah para cendekiawan yang mencoba melawan perkembangan-perkembangan bentuk kesusastraan populer seperti surat kabar harian dan majalah mingguan dengan adanya kemungkinan-kemungkinan komersialisasi, karena semakin meluasnya publik penbaca dan pendidikan formal, dengan cara melalui pers persseorangan/swasta dan jurnal-jurnal sastra yang serius tapi sirkulasinya kecil.

Mereka juga mempunyai relasi yang erat dengan publik. Mereka berbicara kepada dan menulis untuk para calon anggota dalam kelompok kecilorang terdidik, apakah itu kelompok elite yang tradisional ataukah garda depan radikal. Dengan kelompok seperti itulah cendekiawan aristokratis berbagi nilai-nilai estetika umum, kiasan-kiasan umum pula; pelestarian atau pembaharuan budaya (tinggi).[3]

 

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan  

J.S. Mill dan Herbert Spencer memberikan dasar bagi pribadi terdidik untuk secara individual merasa bertanggung jawab harus menyuarakan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kebaikan masyarakat, sebagai bentuk pelayanan publik dan bukan semata-mata untuk memperoleh status atau ketenaran pribadi, sehingga akan mengarahkan kepada sebutan sebagai “penghianatan cendekiawan”.

Daftar Pustaka

Tim Editor Masika. 1996. KEBEBASAN CENDEKIAWAN, Yogyakarta; Yayasan bentang budaya dan pustaka Republika.

Eyerman, Ron. 1996. CENDEKIAWAN antara BUDAYA dan POLITIK, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.


[1]  Tim Editor Masika, KEBEBASAN CENDEKIAWAN, Pustaka Republika, Yogya, 1996….hlm ix

[2] Tim Editor Masika, KEBEBASAN CENDEKIAWAN, Pustaka Republika, Yogya, 1996….hlm 84-90

[3]  Ron Eyerman, CENDEKIAWAN antara BUDAYA dan POLITIK, Yayasan Obor Indonesia, 1996….hlm 142-149